Karya :Maya Sartika


Namaku Arya, aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Bapak dan ibuku bekerja sebagai buruh tani di perkebunan milik  Pak Darma. Untuk  menambah  pendapatan sebagai penunjang ekonomi keluarga , bapak membuka  bengkel kecil-kecilan di rumah. Hampir setiap hari aku melihat bapak berkutat dengan mesin-mesin motor para tukang ojeg  yang menjadi langganananya. Ya, bapakku adalah seorang mekanik yang handal . Berawal dari situlah mimpi besarku dimulai. Mimpi seorang anak yang ingin memiliki kemampuan melebihi bapaknya. 
Kami tinggal di desa kecil,  dipinggiran lapangan udara kecil tempat para TNI Angkatan Udara berlatih. Hampir setiap hari aku menyaksikan pesawat  menerjang awan melintasi langit desa kecil kami.  Sedari kecil, setiap pulang sekolah aku selalu duduk di pematang sawah, dan tidak akan pulang sebelum mendengar  suara  gemuruh seiring pesawat melintas. Sungguh suatu pemandangan yang amat sangat keren bagiku saat itu, lalu sesampainya di rumah  aku langsung menggambar sebuah pesawat dan menempelkannya di dinding kamarku. Kegiatan ini  aku  lakukan setiap hari sehingga dinding kamarku yang terbuat dari bilik bambu penuh dengan gambar-gambar pesawat. Gambar-gambar tersebut tersusun rapi seperti sebuah wallpaper yang menutupi dinding. 
Aku mempunyai seorang  sahabat yang bernama Alya. Kami bersahabat dan tumbuh bersama bahkan dari semenjak kami dilahirkan.  Kami dilahirkan diwaktu yang bersamaan seperti sepasang kembar  sehingga bidan dan para perawat yang bertugas membantu persalinan kami  di puskesmas  desa memberikan nama Arya dan Alya pada kami. Alya adalah putri semata wayang pak Darma yang merupakan majikan sekaligus sahabat bagi kami sekeluarga.  Walaupun status sosial kami berbeda, Aku dan Alya menjadi  sahabat yang tak terpisahkan. Kami selalu melakukan apapun bersama-sama, termasuk rutinitas menanti pesawat melintas di pematang sawah setiap pulang sekolah. Hal itu telah kami lakukan selama bertahun-tahun dan hingga kini setelah kami duduk di bangku SMA pun kami masih tetap melakukannya.
"Arya,  setelah lulus SMA kamu mau kuliah dimana?"tanya Alya  di suatu senja sepulang sekolah, sambil duduk di saung pinggir sawah. Sementara aku lebih memilih duduk di pematang sawah yang berada  tepat dihadapannya. 
"Kuliah?" tanyaku.  Pertanyaan yang selama ini kupendam dalam-dalam dibenakku.
"iyah!"jawabnya cepat.
"hmm... kamu sendiri gimana Al?"aku balik bertanya.
"Kalau aku sih maunya ke  Universitas Indonesia, ngambil jurusan  Psikologi. Gimana menurut kamu?” ujar Alya meminta pendapat.
“Hmm..menurut aku sih jurusan Psikologi  cocok buat kamu yang super  bawel dan kepo abis,” ujarku sambil tertawa. 
“Yee…dasar!!”  katanya sambil memukul  pundakku dengan buku yang ada di tangannya.
“Kamu sendiri gimana?”tanyanya lagi.
“Tuh kan, kepo kan..!”seruku kembali tertawa, sementara tanganku berusaha menangkis sebelum buku itu mendarat  bertubi-tubi dipundakku. 
"aku ingin masuk jurusan  Aeronautika."jawabku pada akhirnya. 
“Aeronautika? Apaan tuh?”tanyanya dengan kening berkerut, seolah di atas kepalanya  dikelilingi oleh tanda tanya yang berputar.
“Teknik Penerbangan. Sedari dulu aku ingin menjadi mekanik pesawat terbang,”jawabku dengan mata menerawang.
"Wiiidiih..mantap!” serunya dengan mata berbinar. ”Tapi emangnya ada ya jurusan itu disini? kayaknya gak ada deh.." tambahnya dengan wajah penuh keraguan.
"emang gak ada"jawabku singkat..
"terus…?"kulihat dia memandangku serius.
‘Ada  di ITB ," jawabku datar.
"ITB? Bandung dong?"tanyanya  menegaskan.
"Kenapa  emang?"tanyaku bingung. Seperti ada bias kekecewaan di matanya yang tidak bisa kufahami.
"Ooh, gak papa," kulihat Alya berusaha tersenyum. Hmm..senyum yang  terkesan  dipaksakan.
“Aaah..aku tahu, pasti kamu takut gak bisa melihat wajah gantengku ini kan?”tanyaku sambil menyilangkan jempol dan telunjuk dibawah dagu  dan mengedipkan sebelah mata sambil tertawa.
“Diih..GR  banget..!” Alya tertawa melihat kekonyolanku.
“Hayoo,ngaku aja ..kamu pasti bakalan kangen sama aku kan..”ledekku.
“Nggak akan!” tegasnya.
“Bilang aja, gak papa koq..”ujarku sambil tertawa. Sementara Alya tetap menjawab dan  terus menjawab nggak dengan mimik wajah yang kesal, sampai akhirnya gemuruh suara dari  langit  disertai  pesawat yang melintas menghentikan “pertengkaran” kami. Membuat  kepala kami spontan mendongak.
“Suatu saat aku akan menjadi bagian dari mereka,” gumamku dengan penuh  kebanggaan.
‘Udah ah, pulang yuuk…”Alya menarik tanganku.  
Disepanjang perjalanan pulang Alya lebih banyak diam, entah kenapa mulutnya yang biasa nyerocos tanpa henti itu tiba-tiba seperti orang yang sedang sariawan. Diam dan diam, sampai akhirnya kami berpisah  di pertigaan yang mengarah ke rumah kami masing-masing.
Tiba dirumah,kulihat bapak sedang mengutak-atik  beberapa batang besi  berwarna keperakan. Sudah  seminggu ini bapak mendapat orderan membuat  pintu gerbang dari Pak Darma.
"Assalamualaikum"ucapku sambil melangkah masuk.
"Waalaikumsalam"jawab bapak.Tak lupa ku cium tangan bapak yang mulai keriput.
"Baru pulang kamu?"tanya bapak kembali pada pekerjaannya.
"Iya pak, tadi ikut les tambahan buat ujian nanti"terangku pada bapak. Aku memang mengikuti les tambahan sebelum mampir ke saung di sawah milik keluarga Alya. Bapak hanya menganggukkan kepala, kemudian kembali  fokus pada pekerjaannya.
"hmm...Arya , ini tolong kamu las bagian ini ya, mata bapak sekarang sedikit rabun, Kalo sore menjelang maghrib begini penglihatan bapak agak buram. Mungkin karena bapak sudah tua!!" perintah bapak sambil menunjukan bagian mana yang harus ku las.
"oh iya pak, siap! Arya ganti baju dulu ya, nanti Arya terusin,"katakuku sambil  masuk kedalam untuk ganti baju kemudian duduk di kursi sebelah bapak.
"Arya"panggil bapak dengan suara parau nya.
"iya pak"sahutku cepat.
"kamu kan sebentar lagi lulus SMA, nanti kalo sudah lulus kamu urus bengkel ini ya! Bapak sudah mulai tua, fisik bapak sudah tidak sekuat dulu. Nanti  bapak cukup  mengurusi kebun saja bersama ibumu,"jelas bapak. Aku hanya diam mendengarkan tanpa niatan untuk menjawab.
  “Aku ingin kuliah pak, bukan mengurus bengkel..” lirihku dalam hati.  Sedih  rasanya, tubuhku serasa lunglai seketika.
“Kamu sepertinya lelah sekali, sudah  istirahat sana!  Ini  biar  besok saja bapak  bereskan. Jangan lupa shalat Maghrib dulu!"ucap bapak  mrengingatkan sambil beranjak  masuk ke kamar.
"iya pak"jawabku lirih.
Aku langsung masuk kamar.  Sebenarnya aku ingin sekali bicara tentang keinginanku untuk kuliah, tapi sepertinya situasinya tidak memungkinkan , jadi kuurungkan  atau lebih tepatnya kutunda  niat tersebut sampai menunggu waktu yang tepat untuk bicara pada bapak. Selepas shalat Maghrib aku langsung  tidur, melupakan sejenak segala kegundahan yang ada di hati. 
Keesokan harinya, seperti biasa  aku terbangun ketika terdengar suara adzan dari mushola yang ada dipusat desa.  Setelah mandi dan berpakaian , aku segera keluar kamar untuk sarapan. Di meja makan nampak bapak dan ibu telah menunggu.
"Arya" panggil bapak di sela-sela kami  makan.
"Iya pak"jawabku pelan.
"Kalau kamu sudah lulus SMA, kamu urus bengkel ya!"ucap bapak.
 “Aaah itu  lagi” gumamku dalam hati
"Sudahlah pak, mungkin Arya punya rencana lain, seperti mau melanjutkan pendidikannya,"potong ibu.
"Maksudnya  kuliah?" tanya bapak , ekspresi wajahnya langsung berubah kaku. Ibu hanya menganggukkan kepala mengiyakan
"Emangnya kamu mau kuliah,Ya?"tanya bapak padaku.
"I iya pak"jawabku sedikit gugup.
"Buat apa kuliah? mending kamu bantu bapak di bengkel.Percuma kuliah juga, cuma buang-buang uang saja. Nanti ujung-ujungnya kamu bakal nerusin usaha bengkel bapak juga.  Bapak ini udah tua Arya, kalo bukan kamu, siapa lagi yang akan meneruskan usaha bapak?" tanya bapak dengan wajah kesal .
“Tapi pak, saya kan….”  Tiba-tiba bapak  berdiri dan beranjak pergi tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan perkataanku.
"Pak.."lirih ibu.Tapi bapak tak menghiraukan panggilan ibu. 
Dan hari itu aku berangkat ke sekolah dengan perasan gundah gulana. Hari itu aku lebih banyak diam dan mengacuhkan  Alya.  Dan diamku terus berlanjut sampai  waktunya pulang. Aku berjalan sendiri, tanpa Alya dengan segala ocehannya. Ya, hari ini aku  ingin sendiri. Menenangkan suasana hati.  Aku  duduk di saung yang biasa kudatangi, memandang hamparan sawah yang menghijau. Damai rasanya..
Sreet….sreeet… terdengar suara langkah terseret dan selintas kulihat sosok yang sangat kukenal mengendap-endap dibelakangku.
"Gak usah sok mau ngagetin deh Al" ucapku.
"Yaah..ketahuan deh" Dengan wajah kecewa Alya duduk di sebelahku. Aku tersenyum tipis melihat tingkahnya.
“Koq kamu  bisa tau sih?” tanyanya.
“Taulah, aku kan udah kenal kamu sedari lahir, bahkan suara langkah kakimu pun bisa aku kenali”, ujarku Alya terkekeh sementara aku menunduk memandangi rumput-rumput liar di bawah  kakiku.
“Kamu kenapa sih?” tanyanya  memandangku dengan pandangan penasaran.
“Kenapa emang?” tanyaku datar dalam tundukku.
“Dari pagi, aku perhatikan kamu diam aja, lagi sariawan ya?”tanyanya  mengodaku dengan wajah polosnya. Aku hanya tersenyum  kemudian menghela nafas dalam-dalam. 
“Ya sudah, kalo memang gak mau cerita gak papa, Aku gak maksa”, katanya lalu terdiam beberapa saat.
“Eh..aku punya sesuatu buat kamu!”ujarnya sambil mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya kemudian menyodorkannya kepadaku.
“Apa ini?’ tanyaku  memandang sebuah boks berwarna putih dengan gambar dan merk Hp terbaru. 
“Ayah membelikan ini sebagai hadiah ulang tahun aku. Padahal baru kemarin Bunda membelikan aku Iphone. Katanya sih untuk surprise jadi mereka  saling merahasiakan hadiah masing-masing. Begitu Kadonya dibuka , ternyata hadiahnya sama,”jelas Alya tertawa geli. 
“Ini maksudnya apa?” tanyaku .
“Kamu kan gak punya HP, aku udah bilang sama ayah hp ini mau aku kasih ke kamu aja, diterima ya..”katanya sambil meletakan boks itu ke tanganku. “Ayolah Ar… kamu kan beberapa bulan lagi akan kuliah di Bandung.  Dengan Hp ini, nanti kita bisa Video Call dan aku masih bisa melihat wajah jelekmu tiap hari.” Imbuhnya tersenyum ceria. Keceriaan yang berbanding terbalik dengan wajahku yang murung.
“Sepertinya aku gak jadi kuliah Al,”gumamku hampir tak terdengar.
“Lho kenapa?” tanya Alya mengernyitkan dahi.
Aku hanya menggeleng dan menghela nafas dalam-dalam,”Udahlah, gak usah di bahas.” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
“Ya udah, tapi Hp ini harus kamu terima ya, please….? Anggap saja ini hadiah ulang tahun dari aku,”katanya memohon. 
“Hmm…ulang tahun,  aku bahkan lupa ulangtahunku sendiri,” gumamku.  Sementara Alya nampak membuka dan mengeluarkan handphone dari boxnya. Benda pipih berwarna perak dengan kombinasi hitam yang elegant.
“Bagus  ya?  Ada nomor aku didalamnya. Kamu bisa telpon aku kapan saja, bisa buat internetan juga. Jadi bisa kamu pakai buat belajar juga!”jelasnya. Aku menggangguk dan mengucapkan terima kasih. Dan suara gemuruh dari langitpun terdengar disusul melintasnya  sebuah pesawat. Kami mendongak, memandang pesawat tersebut.
“Gagah ya..!”Seru Alya, kubalas dengan senyuman.
“Udah ah, pulang yuuk…!” aku menarik tangan Alya.
Tiba di rumah,  aku langsung masuk kamar dan mencoba membuka-buka hp pemberian Alya. Aku sangat senang dan bersyukur mempunyai  sahabat yang baik dan sangat pengertian seperti  Alya.  Ibupun nampak senang saat kuceritakan tentang hadiah yang ulang tahun yang diberikan Alya padaku, sementara bapak tampak acuh saja seolah tak mendengarkan bahkan terkesan menghindar .
Saat makan malam, awalnya biasa-biasa saja,Tapi semua berubah saat Hpku berbunyi .
"Arya, simpan dulu hp nya, makan yang benar!" tegas bapak memandangku dengan tatapan tajam.
"Iya pak, sebentar ini ada pesan masuk" jawabku, sementara jariku menari-nari di keyboard hp untuk membalas Whatsapp dari Alya.
"Untuk makan saja kamu tidak sempat, bagaimana kamu bisa bantu bapak?"ucap bapak dengan nada dingin.Aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya keras-keras. 
“Kenapa? Tidak suka bapak tegur? Kamu  sudah berani membantah bapak? Sudah bisa apa kamu? Orang tua lagi ngomong bukannya diperhatikan malah asyik sama hp!” bapak menegurku dengan keras.
“Sudahlah  pak, Arya itu sebentar lagi ujian. Dia menggunakan hp untuk belajar juga,” ibu berusaha menenangkan.
“Alaah..Itu kan hanya alasan, memang saja anaknya malas. Kamu itu seharusnya  bantu bapak, cari cara gimana supaya hasil panen tahun ini meningkat, bukannya malah asyik sama hp!!"bentak bapak  kesal kemudian menghentakan sendok dengan keras dan berlalu pergi. 
Dan hari-haripun  berlalu  tanpa  terasa, semenjak hari itu hubunganku dengan bapak  menjadi tidak sehangat biasanya. Meskipun demikian, disela - sela  kesibukanku   dalam  mempersiapkan ujian  tanpa sepengetahuan bapak  aku sering  menyempatkan diri untuk datang ke perkebunan.   Aku   ingin membuktikan pada bapak bahwa aku tak seburuk  yang  dia sangka. 
Hari ujian pun tiba. Siap atau tidak, aku harus mengisinya dengan  penuh  keyakinan  dan kejujuran. Fokus itu yang harus ku lakukan sekarang, besok, dan  seterusnya  sampai  ujian berakhir. Banyak dukungan dan doa dari para petani di perkebunan   terutama  ibu dan bapak tentunya, walaupun akhir-akhir ini aku jarang bicara pada bapak. Selesai ujian aku langsung ke perkebunan, Dengan dibantu oleh salah satu petani perkebunan, aku berhasil menemukan obat anti  hama yang menyebabkan hasil perkebunan menurun.   Aku  pulang  dengan  hati riang, tak sabar rasanya ingin segera bertemu bapak. 
Sesampainya di rumah,  aku mendengar ada keributan dari dalam.  Ku dengar   bapak  dengan nada suara yang tinggi bicara pada ibu. Sesekali terdengar suara lembut  ibu menjawab perkataan bapak. Namun semakin ibu menjawab,  nada  suara bapak semakin meninggi. Sampai  akhirnya aku tak tahan lagi….
"Pak, kenapa bapak marah-marah sama ibu? Kalo aku ada salah, tegur aku pak,  jangan  ibu yang dijadikan sasaran..!"ku potong pembicaraan bapak sama ibu dengan sedikit kesal.
"Kamu   sudah mulai berani sama bapak?  Kamu pikir  kamu siapa? Dasar anak  tak berguna.  Bisa apa kamu?  Baru bisa bantu - bantu dikit di bengkel  saja  sudah  sombong!” bentakan bapak semakin keras.
“Terserah bapak mau menganggap aku apa. Yang jelas selama ini aku sudah berusaha menjadi  anak yang baik, penurut, dan berusaha untuk tidak membantah walaupun tidak sesuai dengan keinginan hati. Apa bapak mau tahu keinginan aku? Bapak hanya menuntut aku untuk mengerti  bapak, tapi pernahkah bapak mencoba untuk ngertiin aku, perasaaan aku, keinginan aku?” ucapku. Sungguh aku tak bisa mengontrol emosiku  yang memuncak sampai ke ubun-ubun. Aku mengeluarkan secarik kertas dan menunjukannya pada bapak. “ Ini pak, hasil kerja kerasku. Aku berhasil menemukan formula anti hama yang selama ini membuat hasil perkebunan kita menurun.  Apa bapak tahu itu?” Bapak terdiam seketika, kuhentakan kertas yang ku genggam ke meja dan pergi ke kamar. Dengan emosi yang meluap- luap, Ku sobek semua  gambar - gambar pesawat yang ku tempelkan di dinding. Aku mengamuk seperti orang yang kesetanan tanpa ada yang bisa menenangkan bahkan ibu ku sekalipun. Setelah semua terlampiaskan, aku merasa sedikit tenang.  Perlahan aku duduk di tepi kasur dan bersandar di dinding. Ku lihat dari ujung mataku ada yang membuka pintu kamar.  Ibu menghampiriku dan  duduk disebelahku lalu mengusap-usap bahuku sambil tersenyum.  Kelembutannya membuatku semakin tenang.  “ Sifat bapakmu memang keras Arya,  Tapi dia sangat sayang dan bangga padamu.”
“Kalo sayang gak begitu caranya bu.  Kenapa dia tidak mengijinkan aku meraih mimpiku?” Apa salah aku bu?” Selama ini aku sudah berusaha untuk bisa menjadi anak yang bisa di banggakan.  Tapi apa yang aku dapat? Bapak sama sekali tak pernah menghargai aku! ”bantahku melampiaskan kekesalan yang  tersisa.
"Kamu tidak boleh ngomong seperti itu nak . Arya itu anak bapak dan ibu satu-satunya. Tentu saja kami selalu sayang dan bangga  padamu. Bapak bersikap seperti  itu  mungkin  dia takut kamu gagal seperti dirinya  dulu gagal meraih cita-citanya,"ucapan lembut ibu membuatku sedikit tenang.
"Tapi kan gak harus bentak –bentak gitu dong  bu. Aku tuh bukan anak  kecil lagi. Tidak selamanya aku harus ikut bapak terus, aku juga punya keinginan sendiri bu,”ujarku.
"Iya, ibu ngerti. Tapi anak  tetaplah  anak.  Biar bagaimanapun dia adalah bapakmu. Dalam hatinya dia sangat menyayangimu.  Satu hal yang harus kamu ingat, setiap orang punya cara yang berbeda dalam menunjukan kasih sayangnya, begitu pula dengan bapakmu. Percayalah, semua itu dia lakukan untuk kebaikanmu ,"perkataan ibu membuatku merasa sedikit bersalah pada bapak.
"Iya bu, maafin  Arya," ucapku memandang wajah yang mulai di makan usia itu.
"Maafkan bapakmu  ya?" Aku menjawabnya dengan anggukan .  Kulihat ibu tersenyum dan beranjak lalu memandangku sendu sebelum keluar dari kamarku.
  Hari yang dinantipun tiba, hari dimana surat kelulusan dibagikan kepada orang tua siswa di sekolah. Sementara seluruh siswa, termasuk aku cukup menunggu saja di rumah. 
“Gimana pak?” tanya ibu ketika melihat motor bapak masuk ke halaman. Aku memandang wajah bapak dengan harap-harap cemas. Ku lihat bapak mengeluarkan sebuah amplop yang langsung dibuka oleh ibu. “Arya , kamu lulus!” seru ibu. Kulihat bapak tersenyum dengan penuh kebanggaan.
Kemudian bapak menghampiri dan memelukku erat.  
"Alhamdulillah,. Arya ibu bangga sama kamu. Oh ya , Arya ibu punya kabar gembira buat kamu, sebentar ya.."ucap ibu  tersenyum  sambil  beranjak  masuk kemudian kembali dengan membawa sebuah amlop besar. Aku menerima amplop  itu. Tulisan serta  logo  INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG  tercetak disana.
"Tadi Pak Rt yang anterin ini kesini"jelas ibu dengan mata yang berbinar-binar.
"Di buka dulu dan baca isinya,"ucap bapak sedikit meyakinkan."Ayo.."tambahnya lagi saat melihatku ragu-ragu untuk mengambil isi amplop tersebut.
"Iya pak!"aku menghela nafas untuk menenangkan diri lalu mulai membaca isi surat yang di berikan ibu. Mataku  terbelalak saat melihat bahwa aku di terima dan mendapatkan beasiswa pada jurusan yang yang selama ini menjadi impianku. Ku lihat bapak menggangguk dan tersenyum. Aku langsung memeluk bapak dan di susul oleh ibu.
"Makasih pak"ucapku di sela-sela tangisanku.
"Ya," jawab bapak sembari mengusap pucuk kepalaku."Bapak bangga  sama kamu Arya." tambahnya lagi lalu mempererat pelukannya.
  Beberapa minggu kemudian, aku sudah berada di di Bandung tepatnya di Kampus ITB. Hari itu aku berkeliling untuk melihat-lihat suasana kampus sambil Video Call dengan Alya dan kedua orang tuaku.
"Eh Arya , kita juga mau ikut lihat-lihat dong,"pinta ibu.
"Ya, tapi kalian jangan berisik ya.." ucapku sambil meletakan telunjuk di bibirku kemudian membalikkan kamera hanphoneku. Dan layaknya seorang tour guide, aku menyusuri kampus impianku dan menjelaskan tiap sudut yang ada disana.


=SELESAI=