Akhir dari Sebuah Awal

Zahra Nur Audilla 
(SMPN 2 Citeureup)
“Aaaaaaaaaaaaa!!!” 
      Suara teriakan panjang mendominasi seperempat ruangan yang terlihat gelap. Suara nyaring itu terhenti, ketika lampu ruang kamar itu menyala. Seorang gadis berusia 15 tahun itu sedang mengatur napasnya yang tersenggal-senggal. Matanya memejam sesaat, kemudian gadis itu menghela napas gusar. 
       Mimpi yang baru didapatnya tadi, seolah menyerangnya tanpa ampun. Gadis itu meneguk segelas air hingga menyisakan setengahnya. Dia sibuk menetralkan detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Lalu, pikirannya kembali pada mimpi sialan itu. Sekelabat ucapan Ayahnya tempo hari terngiang di kepalanya. “Ubah sikapmu, Nak! Jika, kamu memang anak Ayah, ikuti apa kata Ayah. Memangnya, dengan sikapmu seperti ini Bundamu akan bahagia di sana?” rentetan kalimat panjang itu membuat dia berdecak keras sekaligus menghela napas kasar. Jadi, apakah dia akan mengikuti semua ucapan Ayahnya yang berada di mimpi itu? 
        Burung bersiul-siul sangat merdu, mentari pagi yang cerah telah menampakkan dirinya di ufuk timur, seolah tengah memberikan senyum cerahnya pada bumi. Lain halnya dengan gadis yang bernama Revasya Alison yang biasa dipanggil Reva— gadis itu berada di meja makan bersama sang Ayah dengan raut wajah yang terlihat masam. “Ayah! Reva berangkat sekolah dulu, ya.” Reva bangkit dari tempat duduknya setelah meneguk segelas susu putih. Tangan Reva terulur untuk menyalimi tangan Ayahnya. Ayahnya menyambut tangan Reva lembut. “Baik-baik di sekolah, ya, Nak. Pesan Ayah, jangan lupa membaca doa untuk melakukan semua kegiatan. Supaya kamu selalu dilindungi oleh Allah. Jangan lupain omongan Ayah tempo hari, ya, kamu pasti ingatkan?” ucap Ayah. Reva mendengkus. “Reva, gak suka dikekang, Yah, Reva sudah besar.” ujar Reva sedikit kesal. “Kalau gitu, Reva, berangkat dulu. Assalamu’allaikum,” Reva segera menyalimi tangan Ayahnya lalu bergegas ke luar rumah. 
        SMP Gemintang yang berada di daerah Jakarta merupakan SMP swasta unggulan dan terfavorit. Reva menginjakkan kakinya menuju kelas IX-1 dengan raut wajah tidak bersahabat. Reva membanting tasnya asal ke bangku tempat duduknya. Pagi ini mood Reva benar-benar terlihat buruk. Perkataan Ayahnya itu membuat Reva semakin merasa kesal di setiap harinya. Setelah duduk di kursinya Reva membenarkan jilbabnya yang sedikit tertekuk akibat angin luar yang menerpa wajahnya saat menuju kelas. 
        Segerombolan anak murid perempuan menghampiri Reva dengan raut wajah penuh senyum di wajah mereka masing-masing. “Woy! Rev. Kenapa muka lo? Mesem amat,” ujar Cerry dengan lagak angkuh yang merupakan sahabatnya juga. “Iya, nih. Muka kamu kenapa, Rev? Lagi sakit, ya?” Putri ikut nimbrung juga. Reva tersenyum. “Nggak, kok! Aku nggak kenapa-napa.” Jawabnya. Cerry tidak peduli lagi, dia langsung duduk di sebelah Putri dengan jilbab yang terlihat tidak rapih membuat beberapa helaian rambutnya keluar. “Eh gaes, liat deh si cupu itu. Lagi diem terus noh, kita bully yuk!” Cerry sudah bangun dari tempat duduknya. Bilfa yang sedari tadi diam langsung menyerbu, “Ayok lah, kita bully si cupu itu.” Seru Bilfa semangat. “Iya bener banget, kayaknya seru kalo kita gangguin si udik itu.” Freya ikut-ikutan nimbrung.
        Cerry, Bilfa, Freya, Putri dan Reva menghampiri salah satu meja yang sedang di duduki gadis polos bernama Ghea. “Lagi ngapain lo cupu?” Cerry langsung bertanya sarkas pada Ghea. Gadis itu hanya diam membisu namun kedua sudut bibirnya melengkung ke atas, membuat Cerry semakin sewot. Karena yang dia inginkan adalah Ghea yang dibully—menangis. Reva pun ikut gregetan, dia memukul meja lumayan keras membuat semua yang ada di ruangan kelas terkejut. “Kalo kamu nggak mau kami bully, kamu harus ngerjain tugas dari Pak Ibam sekarang!” perintah Reva yang diangguki keempat temannya. 
       Cerry, Bilfa, Freya, Putri dan Reva sudah mengambil buku tugasnya dan langsung dilempar ke arah depan meja Ghea. “Sebelum pelajaran Pak Ibam masuk, semua tugas ini harus selesai. Kalo enggak, kamu bakal kami bully lagi. Hahahaha...” ucap Reva sangat tega pada Ghea. Sedangkan Ghea hanya bisa menghela napas kasar, melawan pun tak ada gunanya.  
      Bel pulang sekolah berbunyi membuat keempat teman Reva bersorak-sorai gembira. Tadi pagi untungnya tugas dari pelajaran Pak Ibam—Matematika sudah diselesaikan oleh Ghea—si gadis cupu menurut mereka. Sebelum benar-benar diperbolehkan keluar kelas, suara Bu Anggi mengintrupsi “Ingat ya dua hari lagi kalian akan menghadapi ujian semester pertama, persiapkan ya! Terimakasih...” lalu Bu Anggi beranjak keluar kelas dan disusul anak-anak kelas IX-1. 
    Saat di ambang pintu bahu Reva tidak sengaja terdorong oleh Ghea, Nana, dan Sheryl. Amarah Reva memuncak saat melihat si pelakunya. “Kalian semua punya mata nggak sih? Lewat kok dorong-dorongan!” kesal Reva. “Maaf ya Re, kami nggak sengaja.” Ghea mewakilkan teman-temannya. “Bilang aja lo mau bales dendam kan sama kami semua gara-gara lo tadi disuruh buat bikinin tugas!” ketus Cerry. “Nggak gitu kok.” Kata Ghea. “Maafin kami sekali lagi. Kami duluan ya,” Ghea sedikit memberi kode pada teman-temannya agar segera pergi karena meladeni pun akan membuat masalah semakin besar. Walaupun Nana dan Sheryl tidak terima atas ucapan dan perlakuan Reva and the gang.
    Reva berdecak. “Songong banget sih! Main pergi aja, DASAR CUPU!” teriak Reva yang masih bisa di dengar Ghea, Nana, dan Sheryl. “Gimana kalo kita kerjain dia aja,” usul Reva. “Setuju,” jawab Freya. “Ku juga setuju banget,” ujar Putri. “Dan gue punya ide-nya buat ngerjain si cupu itu...” ucap Cerry sambil menyeringai licik. “GIMANA IDE KAMU CHERRY?” ujar ketiganya kompak. Reva, Putri, dan Freya tentu sangat penasaran dengan ide cemerlang yang diraih Cherry. 
   Keesokan harinya Cherry, Reva, Putri dan Freya kini sudah berhadapan dengan Wali Kelas di kantor. Bu Gita—selaku Wali Kelas lX-1 sangat marah dengan kelakuan Reva, Cherry, Putri dan Freya karena kemarin mereka membocorkan ban motor milik Ghea, Nana, dan Sheryl. “Kalian ibu kasih Surat Peringatan! Untuk ke depannya jangan diulangi lagi. Ibu mohon Surat Peringatan ini kalian kasih ke orangtua kalian masing-masing!” ini adalah kalimat terakhir yang diucapkan Bu Gita. Karena sedari tadi sudah selama 1 jam teman-teman Reva berada di kantor dengan segala introgasi yang dilontarkan oleh Bu Gita. 
  Reva, Cherry, Freya, dan Putri tidak ambil pusing karena tadi telah diberikan Surat Peringatan dan diintrogasi selama 1 jam di kantor bersama Wali Kelas. Mereka tetap santai dan lebih tepatnya tidak ingin pusing. Terlebih, mereka semakin terlihat benci pada Ghea, Nana, dan Sheryl. “Males banget sih liat si Ghea sama temen-temennya ketawa-ketiwi.” Ujar Reva karena melihat Ghea, Nana, dan Sheryl yang terlihat bahagia sesudah kejadian tadi di kantor.
  Hari ujian semester telah tiba saat ini. Pagi menyapa hangatnya sinar mentari yang tengah tersenyum ceria di atas langit, menampilkan sinarnya yang cerah pada bumi. Gadis berwajah jutek itu memasuki ruangan ujian dengan mood rusak. Lagi dan lagi ucapan Ayahnya selalu mengganggu pikiran Reva selama ini. 
  Pak Ibam selaku pengawas ujian hari pertama pada jam pertama dengan mata pelajaran IPA sedang sibuk menulis nama data anak yang hadir kali ini. Dan ini adalah kesempatan untuk Reva dan teman-temannya memaksa Ghea untuk memberikan contekan. Karena Ghea yang tidak mau alhasil kertas jawaban milik Ghea ditarik kuat oleh Reva.
  Srakk!
 Robek sudah kertas jawaban milik Ghea, Pak Ibam yang mendengar langsung mendongak. “Siapa itu?” Reva langsung memelotot ke arah Ghea karena cewek itu ingin mengadu. “Gak ada kok Pak, ini si Ghea lagi rusuh.” Kata Reva. Pak Ibam menyipitkan matanya, karena benar tidak ada apa-apa dia melanjutkan mengisi datanya kembali. Karena kertas jawaban milik Ghea robek alhasil cewek itu lebih baik mengalah dan meminta kertas jawaban kepada Pak Ibam untuk mengisi ulang lagi. Walaupun Ghea tadi sempat disemprot abis oleh Pak Ibam. Sedangkan Reva hanya tersenyum puas. “Makannya jangan suka ngadu-ngadu ke guru. Kena imbasnya lagi kan.” Kata Reva dalam hati.
  Ujian semester pertama kali ini telah usai, waktu lama adalah mencapai seminggu. Namun, dalam seminggu itu Reva, Cherry, Putri dan Freya tingkahnya semakin jadi. Selama seminggu itu mereka meminta jawaban terus pada Ghea. Masalahnya Ghea adalah sumber sasaran dari masalah dan ulah yang Reva dan teman-teman Reva lakukan.
  Kini saatnya orangtua mengambilkan rapot anak-anaknya di semester pertama. Dan Ardi—selaku Ayahnya Reva mendapat banyak teguran dari setiap guru yang mengajar Reva. Lebih dari cukup telinga dan pikiran Ardi sudah pusing saat mendengar bagaimana sikap Reva—anaknya yang berkelakuan buruk selama di sekolah.
  Dan malam ini Ardi termenung di kamar istrinya dulu sebagai tempat rawat sambil meneteskan air matanya. 
Lelah.
Satu kata cukup mewakilkan semuanya. Ardi kini hanya hidup berdua bersama anaknya Reva. Namun, anaknya itu saat diatur selalu saja membuat ulah dengan segala tingkahnya yang tidak baik. “Ayah harus melakukan apalagi sama kamu Reva. Apa Ayah kurang selama ini mendidik kamu? Apa Ayah selalu salah di mata kamu, Nak?” Ardi bertanya pada dirinya sendiri. Air mata yang kuat-kuat dibendung sejak tadi, pada akhirnya terjun ke bawah dengan mulusnya.
 Reva yang melihat dan mendengar semua itu langsung menghampiri Ardi dan memeluknya kuat-kuat. “Ayah, maafin Reva. Maaf selama ini Reva udah buat Ayah sedih. Maaf Reva belum jadi anak yang diinginkan Ayah.” Ucap Reva yang menyesali semua perbuatannya. Ardi yang mendengarnya tertegun hebat. Sebenarnya saat pertama pengambilan rapot di kantor yang dikhususkan untuk seorang Revasya Alison, anak itu mendengar semua teguran yang diberikan guru-guru kepada Ayahnya. Melihat Ayahnya yang menahan pedih saat mendengarkannya, membuat hati Reva sesak. Dia tersadar atas kesalahan yang diperbuatnya selama ini. 
  “Ayah mau kan maafin Reva?” kata Reva sekali lagi dengan air mata yang meluncur deras. “Sebelum kamu minta maaf, Ayah sudah memaafkan kamu Nak. Ayah selalu doakan kamu. Semua hal tentang kamu selalu Ayah depan kan, Nak.” Ucap Ardi yang langsung memeluk Reva erat. “Reva kayak gini karena Reva merasa depresi Yah pas tahu kalau Bunda udah nggak ada. Udah gak sama kita lagi Yah,” ucap Reva mengingat sang Bunda. “Justru itu Sayang. Kalau kamu wujudkan apa yang Bundamu mau selama hidup pasti Bunda senang di sana melihat kamu menjadi anak yang Bunda dan Ayah inginkan.” Ucap Ardi. “Reva jadi ingat Bunda sewaktu itu Bunda pernah bilang jangan sampai ngecewain Ayah sama Bunda.” Ujar Reva. “Sekarang Reva janji. Mulai saat ini Reva akan menjadi anak yang terdidik dan berusaha baik sama semua orang.” Ucap Reva sambil tersenyum. Ardi pun ikut tersenyum senang, dia mencium puncak kepala anaknya hangat. “Ayah selalu ada dan dukung kamu Reva.” Kata Ayah senang.
  Hari demi hari Reva kini sudah membuka lembaran baru. Dia mengubah hal buruk menjadi hal lebih baik lagi. Anggap saja ini adalah akhir dari sebuah pengalaman dan hal buruk untuk mengawali lembaran baru dengan mengisi hal-hal lebih baik dan positif. 
  Katanya hidup itu seperti mengendarai sepeda. Kita harus bergerak untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh.
 Sepertinya memang begitu, semuanya akan baik-baik saja selama kita tidak berhenti.
  Tidak berhenti bergerak, tidak berhenti berusaha, tidak berhenti berharap, tidak berhenti belajar, tidak berhenti bersyukur, tidak berhenti berjanji, untuk tetap melangkah apapun yang terjadi.