We were really disappointed to see that there was n? option to choose a deadline of 2 months or 24 hours. We think th? service should have a 24-hour deadline option, since we got a poorly written paper in less than 24 hours. It ?s also a very short deadline, which makes it difficult t? submit the work on time. The customer support team d?d not answer our request for a revision, and they did not even respond to our email about it. For the best choice go to best research paper writing service and find the one service that suits you best. This is very disappointing because we expected the paper to be completed in time. They also do not offer a refund ?n such situations, so y?u cannot ask f?r ?t. We think that this is unfair, since customers who need urgent assistance should n?t have to pay extra for that.
        


Karya : Salsabila Dinda Putri

Tanganku masih senantiasa membuka dan membolak balikan sketchbook. Inspirasi yang biasanya datang dengan sendirinya kini melayang entah kemana. Jemari yang biasanya  dengan lincah menciptakan goresan-goresan indah, kini bagai  terpaku di atas meja. Kuhela nafas dalam-dalam, entahlah.. aku resah. Mataku melirik jaket biru tua yang teronggok dekat bantal di sudut tempat tidur. Seketika pandanganku menjadi kabur, air mata ini mengalir lagi. Ahh..entahlah!
Hari itu lima tahun yang lalu…
Waktu menunjukan pukul 17.30 saat kakiku melangkah meninggalkan sekolah. Cuaca mendung membuatku mempercepat langkah agar segera sampai di rumah. Namun langkahku terhenti sesaat, beberapa pemuda nampak   sedang nongkrong di mulut gang arah rumahku.
“Baru pulang adik manis? Koq sore amat pulangnya?” sapa salah seorang pemuda menghampiriku. Aku berusaha menghindar dan menepis ketika tangan pemuda itu berada tepat didepan hidungku.
“Hey jangan kurang ajar  ya.!!” bentakku.
“Widiiih galak amat! Tapi kalo marah makin  cantik!” Seru salah satu teman pemuda itu disusul gelak tawa yang lain.
“Anak cantik, pulangnya kemana? Koq sendirian? Tar ada yang nyulik lho..”katanya lagi sambil cengar cengir memuakkan.
“Sini, Abang temenin ya..”ucap salah satu dari pemuda itu sambil menarik tanganku, sementara yang lain tertawa-tawa sambil mengelilingi dan menghalangi jalanku. Tiba-tiba….
“Hey..!!” sebuah teriakan  membuat kelima pemuda itu tertegun sesaat dan menoleh kearah sumber suara.  Nampak seorang pemuda berseragam putih abu berkalung kamera dilehernya berlari menghampiri kami.
“Ada apa ini?” tanyanya.
“Jangan ikut campur kau bocah!”ucap pemuda yang sedari tadi memegangi tanganku.
“Maaf bang, bukannya saya mau ikut campur, tapi ini adik saya. Tolong jangan diganggu!”ujarnya penuh ketegasan. Ucapan itu membuat kelima pemuda yang menggangguku terkekeh-kekeh.
“Adik dari mana? Dari Hongkong? Jangan ngaku-ngaku loe!”
“Loe pikir kita bakal percaya? Masa adiknya cantik, kakaknya amburadul!” ujarnya tertawa sinis. Pegangannya  kian kuat membuatku meringis. 
“Jangan begitu dong bang,” ujar pemuda berseragam itu sambil merenggut tanganku hingga pegangan pemuda  berandal yang menggangguku terlepas.
“Heh..songong bener ni bocah..”ucapnya sambil menarik kerah  pemuda berseragam  itu, Lalu kamera yang tergantung dilehernya terhempas  jatuh  membentur aspal. Baku hantam pun terjadi dan salah satu pemuda berandal  yang menggangguku berhasil dilumpuhkan. Ia jatuh tersungkur tak berdaya. Tiba-tiba, praaaang!! Sebuah suara memecah keheningan seiring pecahan botol minuman keras berhamburan. Pemuda berseragam itu berdiri dihadapanku dengan gagah  sebagai tameng pelindung bagiku. Sementara tangan kirinya  terluka akibat menangkis botol yang sepertinya diarahkan padaku.  Matanya menatap nanar kearah pemuda-pemuda berandal yang berlarian dalam ketakutan, meninggalkan kawannya yang  terkapar di jalananan. Ekspresi wajah yang datar  dengan luka yang menganga dilengannya pastilah membuat ngeri setiap orang yang melihat. Ia  tak ubahnya seperti zombie yang tengah mengejar mangsa.      
“Te.. terima kasih kak”, ucapku tergagap setelah beberapa saat tertegun. Ia tersenyum lalu kembali membolak balikan kamera yang pecah dibagian lensanya, sementara beberapa bagian kecil dari kamera itu terlepas dan bertebaran di jalan. 
”Tangan kakak terluka..” ucapku lagi. Dia menatap luka itu dengan tanpa ekspresi  sama sekali.  Raut wajahnya datar, tak nampak raut kesakitan atau meringis sekalipun. Lama-lama aku jadi takut sendiri…   
“Aku Bara,” dia mengulurkan tangan kanannya, Sementara luka ditangan kirinya mengeluarkan darah yang lumayan banyak. 
“Atha..”jawabku singkat. Sebenarnya aku merasa ngeri melihat luka di lengan kiri kak Bara. Tapi karena merasa tak enak hati, aku menyambut uluran tangan ksatria penyelamatku itu.
“Baru pulang?”tanya kak Bara lagi. Ia  mengernyitkan dahi, menatapku  dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Iya kak, tadi ada acara dulu di sekolah”, jawabku.
“Acara apa?” tanyanya lagi tetap dengan ekspresi datarnya.
“Lomba melukis antar SMP kak.” jawabku sambil membetulkan posisi rok biruku yang agak miring ke kanan.
“Sampai sesore ini?”tanyanya lagi.
“Iya  kak, sekalian acara penutupan,”jelasku.
 “Oo gitu. Lain kali kalo pulang sore  jangan sendirian. Ingat, kamu itu perempuan! Mari, kuantar kau pulang, tak baik anak perempuan jalan sendirian sore-sore begini”, ujar kak Bara. 
“Tapi tangan kakak terluka. Sebaiknya Kakak ke dokter dulu”, ucapku cemas.
 “Nanti setelah aku pastikan tuan putri selamat sampai rumah, aku pasti akan ke dokter!”senyum manisnya mengembang membuatku tersipu malu. Sungguh mengherankan, dengan luka separah itu dia masih bisa tersenyum. Dimataku nampak seperti seorang gladiator yang baru saja memenangkan sebuah pertandingan. Hal itu menciptakan kekaguman tersendiri dibenakku. Sementara itu senja kian temaram dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Kami melangkah beriringan meninggalkan bercak-bercak darah di sepanjang jalan yang kami  lalui.  
Dan Semenjak hari itu Kak Bara selalu menungguku di gerbang sekolah dan mengantarkanku pulang dengan selamat. Persahabatan kami menjadi dekat dan semakin dekat. Tak jarang kami menghabiskan akhir pekan di desa tempat nenek tinggal. Dengan ditemani Kak Bara, lukisanku terlihat lebih hidup  dan berwarna. Wajah manis kak Bara, sang ksatria pelindungku seringkali menjadi inspirasi bagiku. 
 Splaaash….aku terhenyak, spontan kedua mataku mengerjap ketika sekilat cahaya menyambar wajahku. 
 “Kamera baru?”tanyaku seusai tersadar dari pesona senyum manis diantara beberapa kilatan cahaya yang kembali menyambar wajahku.
 “Iya, alhamdulilah akhirnya aku bisa memiliki kamera terbaru setelah beberapa bulan menabung..” senyum kak Bara mengembang penuh kebanggaan.
“Maafkan aku ya kak, gara-gara aku kamera kakak jadi rusak waktu itu”, ucapku menyesal.
“Gak masalah, kamera itu memang sudah usang, sudah ketinggalan jaman. Sudah lama kakak ingin ganti kamera yang lebih canggih dan baru sekarang bisa terlaksana. Lihat, dengan kamera ini kamu kelihatan  cantik, jauh lebih cantik ketimbang aslinya!” kak Bara menunjukkan  hasil jepretannya.
 “Maksud kakak  aku aslinya jelek, gitu?”aku merengut sementara kak Bara tertawa sambil mengelus kepalaku. Ya, kak Bara tak ubahnya seperti sosok seorang kakak yang sangat baik dan melindungi. 
  Ketika hari menjelang senja, sang mentari mulai bergeser ke barat. Aku dan Kak  Bara pamit pada nenek lalu berbocengan menyusuri jalan desa menuju arah pulang. Ditengah perjalanan Kak Bara menghentikan motornya ketika dua orang pria berbadan kekar menghadang kami.
“Oo jadi ini bocah songong yang sok jagoan itu?” ujarnya dengan wajah sinis yang  diikuti anggukan temannya.
“Maaf, ada apa ya bang? Abang siapa?”tanya Kak Bara, tangannya nampak berjaga-jaga berusaha melindungiku sebisa mungkin. 
“Turun loe!” Bentakan itu membuatku terhenyak, sepertinya aku mengenal laki-laki itu tapi entah dimana dan kapan. Seketika ingatanku kabur entah kemana. Sementara itu pada jarak satu meter di depan, nampak  sekelompok laki-laki berjumlah sekitar tujuh orang bergerombol menatap kami dengan penuh kemarahan. Laki-laki itu menarik paksa Kak Bara turun dari motor sementara teman yang mendampinginya menghampiriku dan menarik tanganku. Kak Bara meninju wajah laki- laki yang menariknya hingga terjerembab.
“Bang, jangan ganggu adik saya bang!” tegas Kak Bara merenggut tanganku hingga pegangan laki-laki yang menarikku  terlepas. Laki-laki itu menarik leher kaos Kak Bara dan braaaak..!!, sebuah kamera  terhempas, membentur aspal.  Suara benturan  keras itu membawa ingatanku kembali pada peristiwa tiga bulan yang lalu.  Ya, ini de ja vu dengan suasana yang berbeda! 
Kak Bara berdiri didepanku, menjadi tameng pelindungku sebelum akhirnya laki-laki yang terjerembab tadi bangkit dan menyeretnya untuk dihadapkan pada tujuh laki-laki yang bergerombol tadi. Lalu baku hantam pun terjadi lagi. Kak Bara berhasil melumpuhkan dua dari mereka. Namun karena jumlah tak seimbang mereka berhasil meringkus Kak Bara.
“Hmm..boleh juga permainan loe! Ternyata loe gak selemah yang gue kira”, ujar laki-laki yang dipanggil Boss oleh yang lain itu. Sepertinya dia merupakan pemimpin dari mereka. Dan ekspresi datar Kak Bara semakin memancing emosi mereka untuk memukulinya. Sementara aku hanya bisa berteriak-teriak tanpa bisa berbuat apapun.
“Tolong hentikan bang, apa salah saya bang? Abang-abang ini siapa?” pertanyaan demi pertanyaan dari kak Bara dijawab dengan pukulan dan tendangan yang menghantam sekujur tubuhnya. 
“Aah banyak bacot loe! Loe udah bikin adik gue terkapar di jalanan tiga bulan yang lalu!”ujarnya sambil mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya dan menusukannya ke perut kak Bara. Seketika warna merah menghiasi kaos putih yang dikenakan Kak Bara. Aku berteriak sekencang-kencangnya melihat ksatria pelindungku ambruk. Aku menangis sejadi-jadinya. Dan teriakanku berhasil mengundang kedatangan warga dari segala penjuru. Hal itu membuat para laki-laki itu berlarian tak tentu arah. Namun usaha mereka sia-sia, warga akhirnya berhasil meringkus mereka.
 Dua jam berlalu..
Aku duduk, tertunduk  memeluk jaket biru tua dengan bercak kemerahan dibeberapa bagiannya. Sesekali mataku menatap pintu yang bertuliskan Ruang Operasi, berharap Kak Bara keluar dengan senyum manisnya dan mengatakan ini hanya sebuah frank.
“Kamu Atha ya?” suara lembut itu membuatku tergagap. Senyuman manis mengembang dari wajah yang kurindukan. Ya, wajah Kak Bara namun dalam versi yang berbeda.
 “Bara banyak cerita tentang kamu..”ujar wanita paruh baya itu dengan mata menerawang.
“Kamu tahu Atha? Bara adalah anak tante satu-satunya.” Ucapan wanita itu membuatku terkesiap, ada rasa bersalah mengganjal dihatiku.
“Maafin Atha, tante..”lirihku penuh penyesalan.
“Kenapa kamu minta maaf? Justru tante ingin berterima kasih sama kamu,”ujarnya tersenyum lembut.
“Terima kasih kenapa tante? Justru Atha yang harusnya berterima kasih karena kak Bara  selalu nolongin Atha. Di mata Atha, Kak Bara adalah sosok  kuat yang selalu siap melindungi Atha dimanapun dan kapanpun..” jelasku.
“Bara tidak sekuat yang kamu kira, Atha..”lirih tante menjelaskan dengan suara bergetar.   
“Bara sakit…Dia mengidap penyakit langka. Penyakit yang menyebabkan dia tidak bisa merasakan sakit. Para Dokter menyebutnya CIPA, Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis. Sejak kecil, jika dia jatuh sampai berdarah-darah sekalipun dia tidak pernah menangis, tidak ada rasa sakit sama sekali. Hal itu disebabkan permukaan kulitnya tidak peka terhadap goresan atau bahkan tertusuk sekalipun. Tau-tau sudah bengkak dan infeksi. Seringkali seperti itu.”
Aku tertegun mendengar penjelasan tante. “Jadi selama ini ksatria pelindungku sakit dan aku sama sekali tidak menyadarinya? Ya Tuhan, bodohnya aku…” aku benar-benar mengutuk diriku sendiri.
“Tapi setelah bertemu Atha semuanya berubah..”
“Maksud Tante?”
 “Theraphy yang dilakukan pada Bara mulai menunjukan perkembangan setelah Bara bertemu dengan Atha. Indera peraba pada permukaan kulitnya mulai  peka terhadap rasa sakit walaupun responnya sangat lambat.” tante tersenyum, berusaha menahan air mata. 
“Sudah hampir tiga jam..”ujarnya melirik jam ditangan kirinya lalu menarik nafas gelisah. Sesekali matanya  menatap pintu Ruang Operasi.  
Tak lama berselang pintu terbuka, seorang perawat melangkah terburu-buru sampai hampir menabrak Papa kak Bara yang baru saja datang. Selanjutnya beberapa perawat nampak sibuk keluar masuk. Beberapa menit kemudian Dokter keluar menghampiri Om dan Tante yang sudah menunggu di depan pintu dengan kegelisahan yang amat sangat, cemas dengan situasi yang ada. Sementara aku masih duduk di tempat yang sama, memperhatikan semua kesibukan, kecemasan dan kepanikan yang terjadi di depan mata membuat kakiku tak mampu menopang tubuh mungilku. Dari kejauhan kulihat dokter itu menggelengkan kepala kemudian samar kudengar isak tangis Tante dalam pelukan Om. Lalu firasat buruk menguasai hatiku, menyumbat rongga pernafasanku, sesak sekali….Kupeluk jaket biru tua kesayangan Kak Bara, erat  dan semakin erat. Namun rasa sesak itu kian menjadi, saat  kulihat sebuah tempat tidur didorong keluar dari Ruang Operasi. Kemudian pandanganku  perlahan menjadi samar, kian samar dan semakin samar, sampai akhirnya menjadi gelap sama sekali.
Inilah sepenggal kisah yang tertinggal, namun bukan seperti kisah dalam dongeng Cinderella dengan ending happily ever after. Ini lebih mirip dengan kisah persahabatan Snow White and the Hunts man. Aku menemukan sosok the Hunts man, sang ksatria pelindung pada diri Kak Bara. Namun sang ksatria itu kini telah tiada…
Meninggalkan rasa hampa dalam dada. 
Dan ini bukanlah kisah biasa
Ini kisah  tentang segala rasa
Tentang rasa kehilangan 
Tentang  kerinduan 
Entah sampai kapan….
Ini adalah kisah nyata yang pernah ada
Kisah antara Atha dan Bara..

 =SELESAI=