JAMBU AIR BI OMAS



Karya: M. Irkhsan Gunawan



            Namanya  Udin, rumahnya tak jauh dari rumahku. Dia merupakan salah satu teman sepermainanku bersama  Epul, Asep, dan Jejen. Tiap sore kami selalu berkumpul untuk bermain petak umpet. Seperti sore ini, ketika aku sedang asyik duduk di teras sambil menikmati air teh lemon buatan emak, ,keempat sahabatku datang menjemputku. “Widiih…mantap ni!”kata Udin sambil menyambar teh lemon dari tanganku dan langsung meminumnya. Aku  terbengong-bengong menatap gelas yang tadinya penuh dan kini isinya telah beralih ke perut Udin. “ Din, iih…kebiasaan!” bentak Epul sambil menjitak kepala Udin, yang cengar cengir garuk-garuk kepala. “Sudahlah, jangan marah Jang, maklum aja, si Udin mah emang rada-rada. Mending kita main yuuk..”ajak Asep berusaha membujukku. Aku menghela nafas dan mengangguk sambil berlalu ke belakang untuk meminta ijin pada emak supaya beliau tidak bingung dan mencariku kemana-mana.

            “Hom pim pah alaihum gambreng!”  Kali ini aku kurang beruntung, aku  kalah dan mendapat giliran jaga. “Aku hitung sampai 5 ya…!” seruku sambil menutup mata dan mulai menghitung. “ Satu….dua…tiga…” kudengar suara langkah berhamburan menjauh.” Empat….” “Belum…” suara Jejen terdengar dari sebelah kiri. “ belum…” disusul oleh suara Udin semakin samar dan menjauh. Lalu  suara yang lain sebelum akhirnya sepi sama sekali. “Lima…!” aku membuka mata dan celingak celinguk mencari dimana teman-temanku bersembunyi.  Lalu mataku langsung tertuju pada sesuatu di semak-semak yang nampak bergerak dan ada setitik warna merah terselip diantara hijaunya semak belukar tersebut. Dengan mengendap-endap aku menghampiri semak belukar itu dari arah belakang.  Dan  nampaklah  Epul yang memang memakai baju merah  menyembunyikan wajahnya namun punggungnya terlihat jelas. “Epul !!“ seruku menepuk pundaknya. Epul terlonjak kaget. Dengan wajah kecewa dia keluar dari persembunyiannya. 

            “ Mbeee…mbee….” Buk….buk!!  Terdengar keributan di kandang kambing mang Darsa. “Aduuuh!!” di sela-sela keributan itu terdengar suara  yang kukenal dengan baik. Aku dan Epul berusaha menahan tawa ketika melihat Asep merangkak keluar dari kandang kambing . “duuh…”rintihnya sambil memegangi pelipisnya. Dahi kanannya nampak lebam . “Sialan tuh kambing, udah bau, nendang lagi !!”gerutunya membuat aku dan Epul tertawa terbahak-bahak.

“Tinggal Jejen dan Udin ni.. ” kataku sambil celingukan. ”Si Jejen mah paling juga ngumpet didapur emaknya, kayak kemarin,” kata Asep sambil mengusap-usap dahinya yang masih terasa nyeri. 

”Kita susul aja ke rumahnya yuu…” ajak Epul.   Ditengah perjalanan menuju rumah Jejen,  Nampak Bi Omas dan Mang  Oding tengah berbincang di bawah pohon jambu air milik Bi Omas yang  berbuah sangat lebat, sampai-sampai hampir seluruh bagian pohonnya dipenuhi warna merah.

            Dan sesampainya di rumah Jejen,  benar saja  nampak Jejen tengah asyik menikmati goreng pisang di teras rumahnya, cengar cengir menyambut kedatangan  kami. “ Gimana sih Jen, kita cari-cari kamu malah enak-enakan di sini!” seruku dengan wajah kesal. “sorry kawan, aku lapar..” jawab Jejen diantara kunyahan pisang goreng di mulutnya. Asep dan Epul nampak berebut pisang goreng yang tersisa di piring dan akupun tak mau ketinggalan. 

Kini tinggal mencari Udin. Dan aku pun melanjutkan pencarian hingga ke ujung Desa, namun belum ada tanda-tanda di mana Udin bersembunyi. Hingga hari menjelang Maghrib, Udin belum juga ditemukan. Akhirnya kami menyerah dan sepakat untuk pulang ke rumah  masing-masing.

            Keesokan harinya, dalam perjalanan menuju ke sekolah aku melihat Bi Omas dengan gusar  menatap pohon jambu kesayangannya. Pohon yang  kemarin memerah dengan buah lebatnya, kini  hanya tinggal tersisa separuhnya saja. Warna merah itu lenyap entah kemana. “Padahal buah nya sudah dibayar oleh mang Oding, penjual buah keliling itu.” Keluh Bi Omas sedih dan bingung bagaimana pertanggung jawabannya pada Mang Oding.  “Kasian Bi Omas…” gumamku prihatin.

            Sesampainya di sekolah, aku menceritakan apa yang menimpa Bi Omas kepada sahabat-sahabatku. “Kasihan  sekali..” ucap Asep. “ Eh Din, kemarin kamu sembunyi di mana sih?” tanyaku. Udin nampak gugup dengan pertanyaanku, “Eh…eh..aku pulang duluan, kebelet..he he he..”katanya nyengir. Bel pun berbunyi pertanda sudah waktunya masuk dan  kamipun membubarkan diri untuk masuk ke kelas kami masing-masing setelah berjanji berkumpul untuk main petak umpet lagi sore ini.

            Sorenya, kami kembali berkumpul di tanah lapang belakang rumah  Asep dan melakukan hom pim pah untuk menentukan siapa yang mendapat giliran jaga.  “Yaah…aku jaga deh..” keluh Jejen dengan wajah kecewa. “Padahal emak sudah membuatkanku  nasi goreng.”

“Tenang  Jen, nanti sore kita serbu rumahmu. Kita bantuin deh menghabiskan nasi gorengnya,” ujar Udin tertawa. “Nanti siapa yang paling akhir ditemukan dapat jatah paling banyak ya..” tambah Udin dibalas huuuu…. dengan serempak oleh yang lain. “Aku hitung sampai 5 ya….”pinta  Jejen. “ Jangan, 10 aja,”kata Udin. “Kenapa harus 10? Biasanya kan sampai 5,” ujar Epul. “Lah ini kan luar biasa, ada hadiah nasi goreng menanti kita. Jadi aturannya juga harus berbeda dari biasanya,”jelas Udin. “Sudah..sudah…iya ,aku hitung sampai 10 ya.”Jejen  berbalik dan mulai berhitung sambil menutup mata. Kamipun berpencar mencari tempat sembunyi. Aku dan Udin berlari kearah utara, sementara Asep dan Epul kearah Selatan.

            Aku  dan Udin berlari sambil mencari-cari tempat persembunyian yang aman.  Ketika kami sampai di bawah pohon  jambu Bi Omas, Udin memanjat pohon itu tanpa ragu. “Ayo Jang, naik.. !” ajak Udin. “Kenapa sembunyi di situ ? ” tanyaku sambil menggeleng.  “Ini tempat yang paling aman   Jang, pohonnya tinggi, daunnya lebat, buahnya juga banyak , ” katanya sambil memetik buah  yang berada tepat di depan hidungnya lalu memasukannya ke mulutnya. ”Hmmm….manis banget lho.. ”ujarnya.  Aku menggeleng, ”Jangan din, kalo ketauan, nanti bisa dikira mencuri lho.. ”kataku mengingatkan.. ”Gak bakalan ketauan…yakin deh !  kemarin juga…. ” Udin menghentikan ucapannya.

Aku tak peduli dan segera beranjak meninggalkan Udin yang masih sibuk mengunyah buah jambu Bi Omas dan  mencari tempat persembunyian yang lain. ”Ujang.. !!”kulihat Jejen, Asep dan Epul memanggilku  dari kejauhan dan berlarian menghampiriku.”Mana Udin ? ” tanya mereka. Belum sempat aku menjawab, samar-samar terdengar suara keributan. Kamipun segera mendatangi asal suara. Nampak beberapa orang berkerumun di bawah pohon jambu Bi Omas. Samar kudengar bahwa terjadi keributan antara Bi Omas dan Mang Oding. Saking ramainya, sampai-sampai masalah ini di bawa ke Balai Desa untuk didamaikan. Kami saling berpandangan. “Udin..” gumamku dengan penuh kekhawatiran. “Kenapa Udin?”tanya ketiga sahabatku.  “ Udin tadi bersembunyi di pohon jambu Bi Omas” aku menjelaskan. Lalu di manaUdin sekarang ?

Akhirnya kami sepakat untuk memastikannya dengan mendatangi Balai Desa.

            “Saya tidak mau tahu, saya kan sudah membayar seluruh jambu itu 2 hari yang lalu. Masa sekarang buahnya cuma ada separuhnya. Saya bisa rugi atuh. Pokoknya saya merasa ditipu” keluh Mang Oding pada Pak Kades yang bertindak sebagai penengah. “Saya tidak menipu,  Pak Kades. 2 hari yang lalu memang buahnya banyak,. Mang Oding kan liat sendiri!” jelas Bi Omas tak mau kalah.  Mang Oding menuntut agar separuh uangnya dikembalikan, sementara Bi Omas keberatan dan merasa tersinggung karena dituduh menipu, sampai akhirnya ...

“Bi Omas, Mang Oding..tenang dulu sebentar.“ ujar Pak Kades. Taka berapa lama kemudian, Pak Hansip keluar dari ruangan Pak Kades mendampingi seorang anak laki –laki berusia sekitar 12 tahun, dengan wajah tertunduk melangkah terpincang-pincang.

“Udin ?” Bi Omas  dan Mang Oding saling berpandangan .”Ngapain kamu di sini?” tanya Mang Oding membuat wajah  Udin semakin menunduk.

“Ini putra mang Oding kan?” tanya Pak Kades.

“Iya, kenapa anak saya ada di sini pak Kades?” tanya Mang Oding mengkhawatirkan kondisi anaknya. Sementara Udin nampak tak berani menatap wajah abahnya, sesekali meringis.Ada beberapa lebam di tangan dan kakinya.

“Begini Mang Oding, tadi  sewaktu saya berkeliling desa untuk patroli, saya menemukan anak Mamang  jatuh dari atas pohon jambu Bi Omas,” jelas Pak Hansip.

“Haah..??   Jadi kamu yang menghabiskan jambu saya?”Bi Omas melotot.

“Maafkan saya Bi, saya tidak bermaksud  untuk mencuri jambu Bibi. Awalnya saya hanya bermaksud untuk bersembunyi saat main petak umpet bersama teman-teman. Tapi buah jambu air di pohon Bi Omas sangat menggoda, akhirnya saya makan  satu. Karena rasanya enak  dan teman-teman saya tidak juga menemukan saya, saya jadi iseng, sambil menunggu saya makan lagi satu, dan tambah lagi , lagi dan lagi..”jelas Udin masih dengan wajah tertunduk. Sementara Mang Oding menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. “Maafkan Udin, Abah..”kata Udin, nampak air mata meleleh dipipinya.

“Bagaimana, Mang Oding? “ tanya Pak Kades. “Rasanya kurang bijak jika Mang Oding meminta separuh uang  pembayaran  jambu kembali”. Mang Oding manggut-manggut,” Baiklah, kalo begini ceritanya saya minta maaf atas kesalah fahaman  ini dan juga atas kelakuan anak saya,”.Kata Mang Oding sambil membelai kepala Udin yang tertunduk semakin dalam.

            Akhirnya Mang Oding dan Bi Omas saling bersalaman disaksikan oleh Pak Kades. Sementara Udin menyatakan  penyesalannya telah mempermalukan Abahnya. Dia berjanji tidak akan mengulangi keisengan yang membuat Abahnya merugi. Sebagai sangsinya sepulang sekolah Udin tidak boleh main,. Dia harus membantu Abahnya berjualan buah keliling kampung  selama seminggu. Itu artinya seminggu kedepan, permainan petak umpet kami tidak akan seseru biasanya tanpa kehadiran Udin.

 

 

=SELESAI=