?JINGGA SAAT SENJA

Oleh : Sri Wulan Andriyani, S.S

 

Perlahan deretan kendaraan yg baris tak teratur merangkak menyusuri jalanan yang dibatasi tiang-tiang jembatan dengan diiringi alunan klakson yang tak henti bergema sepanjang kepadatan. Entah apa yg diburu, seperti sebuah pertandingan kecepatan, berlomba sampai ke tujuan tanpa mengindahkan aturan, sehingga menambah kekacauan arus lalu lintas di jalanan. 

"Bang, kiri... Di sini aja, Bang! " terdengar suara seorang wanita muda yang tampak sudah tak sabar dengan kebisingan dan kemacetan jalan.

Dia adalah Jingga, wanita sederhana yang setiap harinya bergelut dengan kebisingan jalanan saat pagi dan sore tiba.  Berkawan dengan berbagai pedagang warung makanan, menjadi kegiatan wajib dia sehari-hari. Iya tentu saja, karena Jingga membantu ibunya berjualan gorengan, dan menitipkannya ke warung-warung makan, untuk membiayai kuliah dan kehidupan sehari-hari keluarganya. Tapi justru itu yg membuat dia selalu tampak bahagia di tengah zaman yang belum tentu bersahabat dengan kehidupannya.

Jingga terus menelusuri trotoar sambil menggandeng tas kecil berwarna abu-abu dengan pernik sebuah tulisan "Hope" di depannya. Langkah kakinya yg mulai terasa berat, tak menghentikan niatnya untuk segera pulang menemui keluarganya di rumah. 

Beberapa kali Jingga melirik jam tangannya yg sudah mulai lusuh. Waktu pun seperti berlomba dengan langkahnya beriringan.

"Masih jam setengah 6...Aku masih ada waktu buat beli kolek untuk buka puasa nanti", gumamnya sendiri sambil tersenyum membayangkan kolek pisang kesukaannya.

Jingga pun berhenti di samping sebuah gerobak kecil yang menjual berbagai takjil. Tak butuh waktu lama untuknya membeli beberapa bungkus takjil kesukaannya.

"Kriinngggg... Kriinngggg... ", dering telepon tiba-tiba terdengar dibalik tasnya.

" Halo.. Assalamu'alaikum,Mah?", sapa Jingga.

"Jingga...!!", dengan suara perlahan dan terdengar lirih ibu Jingga menjawab. "Jingga... Dia kembali. Dia kembali ke rumah kita setelah sekian lama...", belum sempat ibu Jingga meneruskan kalimatnya, suara tangisan pilu terdengar jelas dibalik telepon genggam itu.

Senyum yang tadi terlukis di wajah Jingga kini berubah. Jantungnya mulai berdegup kencang, seolah ribuan rasa bercampur di sana. Nafasnya terasa sesak, menahan sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan.  Rasa perih yang menusuk tepat di hatinya. Tangannya mulai gemetar, bersamaan dengan tubuhnya yang seperti tak mampu lagi menopang sebuah beban.

"Aku harus pulang... Aku harus cepat pulang!! ", ucapnya meneguhkan hati dan pikirannya yang mulai tak karuan.

Dengan hati yang berat, Jingga terus mempercepat langkahnya melewati setiap kerumunan dan apapun yang tak sempat dia hiraukan. Hati dan pikirannya hanya tertuju pada ibunya yang berada di rumah, dan orang itu yang membuat hatinya tak bisa tenang. Nafasnya mulai terengah-engah, berlomba dengan waktu yang seperti mengajaknya berperang melawan langkah kakinya yang dirasakan semakin berat.

"Mah... Mamah... Mamah dimana? “, sedikit teriak Jingga dari depan pagar rumahnya.  Perlahan Jingga membuka pintu rumahnya. Tampak dua orang sedang berhadapan dan menatap langsung ke arah Jingga.

Air mata Jingga tak mampu dibendung lagi. Ibu Jingga langsung menghampiri dan memeluk Jingga dengan erat. Beribu rasa yang berkecamuk dalam hati Jingga tak dapat lagi disembunyikan. Jingga hanya bisa menatap tajam pada sesosok laki-laki paruh baya yang berada tepat di depannya kini. Perlahan Jingga melepaskan pelukan ibunya. Dia mulai mengatur nafasnya yang masih sedikit terasa sesak. Beberapa jemarinya mulai menyapu air mata yang masih mengalir perlahan di sudut matanya.

"Jingga...maafkan papah! ", terdengar suara yang sedikit serak dari sosok laki-laki paruh baya itu.

"Masih pantaskah ku panggil papah?" jawab Jingga dengan nada bergetar menahan tangisan.

"Jingga... Papah akan jelaskan semuanya! “

"Ga perlu, Pah! Ga ada yang perlu dijelaskan di sini, semuanya sudah sangat jelas. Sangat jelas bagi Jingga dan bagi Mamah. Sangat jelas bahwa Papah tak pernah peduli tentang kehidupan keluarga kita. Hanya demi apa, Pah?"

"Jingga... Papah ga bermaksud... "

" Demi uang kan, Pah? Demi jabatan! Demi kekayaan! Dan demi ambisi Papah yang terlalu egois hingga rela meninggalkan anak istrinya puluhan tahun tanpa ada kabar sedikit pun!", teriak Jingga.

Laki-laki yang dipanggil Papah itu tak bisa bergeming. Suasana seketika hening. Hanya suara isakan tangis sang ibu yang masih terdengar lirih. Jingga masih menghela nafasnya perlahan, mencoba menahan segala emosi yang sudah lama dia kubur dalam-dalam. Tapi hari ini, semuanya terpecah. Air mata itu tak henti-hentinya mengalir perlahan menghiasi pipinya yang memerah padam.

"Pernahkah Papah berpikir tentang keluarga kita, Pah? Tentang mamah, aku, dan juga Leana,yang bahkan dia ga pernah tau wajah papahnya itu seperti apa! Sedikit saja Pah... Sedikit saja andai papah mengerti perasaan kami yang ditinggalkan begitu saja, dibuang, dan diterlantarkan oleh seseorang yang harusnya jadi pelindung untuk keluarganya!",  keluh Jingga dengan nada kecewa.

"Berhenti, Jingga. Jangan diteruskan lagi... Mamah ga mau mengenang luka itu lagi! “, sanggah Mamah Jingga dengan penuh lirih dan memohon.

"Tapi dia harus tau semua yang kita rasakan, Mah! “, jawab Jingga dengan nada tinggi.

"Jingga... Mamah bilang berhenti!"

"Tapi, Mah... "

" Jingga... Haruskah mamah pergi dari sini agar kamu bisa berhenti? Kamu mau mamah terus mengenang masa lalu kita? Kamu mau mamah terus dibayangi kesedihan dan kekecewaan?", bentak mamah pada Jingga.

"Kalau begitu... Aku yang pergi", Papah Jingga pun akhirnya bicara.

Sejenak hening menyelimuti ruangan itu. Jingga dan mamah pun terdiam, menatap langsung ke arah suara yang sedari tadi tak bergeming. Perlahan langkah kaki Jingga bergerak menuju arah sumber suara itu. Tatapannya tak berkedip, seperti menerawang jauh menelusuri waktu yang entah kapan akan kembali. Tapi air matanya tetap tak mau berhenti, menemani setiap langkahnya untuk menghampiri sesosok tubuh yang kini berdiri tepat dihadapannya.

"Papah mau pergi lagi?", ucap Jingga perlahan sambil mengusap air matanya.

"Maaf... Papah tiba-tiba hadir dalam kehidupan kalian", jawab Papah Jingga dengan nada sendu dan memohon.

"Papah mau pergi lagi?"

Jingga hanya bisa menatap mata sayu yang mulai berkaca-kaca penuh penyesalan.  Papah Jingga tak bisa menjawabnya. Ruangan hening kembali.  Mamah Jingga pun tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Jingga...Maafkan Papah yang..!"

Belum sempat Papah Jingga menyelesaikan kalimatnya, kedua tangan Jingga dengan cepat memeluk papahnya dengan erat. Tangisannya melimpah ruah disandaran bahu sang ayah, diiringi gema suara adzan maghrib yang berkumandang.

Tak ada lagi kata yang terucap, hanya tangisan yang mewarnai waktu senja itu.

Senja yang menjadi saksi takdir yang tak pernah ada dalam rencana. Karena takdir Tuhan memberikan sebuah makna kehidupan, bahwa penyesalan adalah sebuah rasa sakit, dan maaflah yang menjadi penawarnya.

                                                                        =SELESAI