BUAH KESABARAN

Karya:Elisanti, S. PdI


"Adi Wijaya..!" Bu Saleha memanggil sebuah nama diantara riuhnya suasana kelas. "Adi Wijaya!!" nama itu kembali dipanggil dengan suara yang lebih keras. 
"Cep, dipanggil tuh..!" bisik Farel mencolek pundak Adi. 
"Sa.. saya bu guru" Adi tergagap. Lamunannya buyar seketika. 
"Jangan ngelamun Adi", kata bu Saleha kemudian melanjutkan mengabsen satu per satu siswa yang ada di kelasnya. Sementara Adi kembali pada lamunannya. Hatinya gundah memikirkan  study tour yang akan segera dilaksanakan oleh MI Darul Huda, tempat ia menimba ilmu di kelas 6B itu. Sementara tiap siswa dikenakan biaya sebesar 150 ribu. Jumlah uang yang lumayan besar untuk keluarga Adi. Abahnya hanyalah seorang marbot Mesjid yang bekerja secara serabutan sebagai sampingan, sementara emak hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Adi nampak murung. Bel pertanda jam sekolah berakhir pun  tak mampu  mengurangi kegelisahannya. "Aku harus bicara pada Abah" gumamnya memantapkan hati. 
Dia berjalan menyusuri jalan setapak diantara gang-gang sempit yang padat akan rumah warga. Setelah berjalan beberapa ratus meter, dia tiba di pekarangan mesjid yang lumayan luas. 
Di teras mesjid nampak seorang laki-laki paruh baya sedang mengepel lantai. 
"Abaah..!" seru Adi berlari menghampiri laki-laki tersebut. 
"Lho Cep, sudah pulang kamu?" tanya Abah setelah Adi duduk di teras mesjid dan menjawab pertanyaan Abahnya dengan anggukan kepala. 
"Koq gak langsung ke rumah? Emak tadi masak tumis jantung pisang kesukaanmu lho", kata Abah berharap bisa menghilangkan kemurungan diwajah anak laki-laki satu-satunya itu. Sementara Adi hanya tersenyum mendengarnya. Senyum yang terkesan dipaksakan. 
"Ada apa cep?" tanya Abah kemudian. 
Ini bah, minggu depan sekolah saya mau mengadakan study tour ke Puncak", jelas Adi. 
"Terus...?" 
"Terus biayanya 150 ribu" jelas Adi lagi. 
"Terus...?" 
"Abah ini teras terus, teras terus aja. Gak tau anak kalo anaknya lagi bingung!" gerutu Adi. 
"Terus yang bikin kamu bingung apa?" tanya Abah disela gelak tawanya. 
"Abah ada uang?" tanya Adi penuh harap. 
"Tenang saja, Inshaa Allah. Do'akan saja semoga Abah dapat rejeki ya.." kata Abah sambil membelai kepala Adi. 
"Kata bu guru minggu-minggu ini harus sudah di bayar, Abah" Wajah Adi semakin murung. 
"Iya, Inshaa Allah bisa. Untuk sementara kamu bisa pake uang di celengan kamu dulu, nanti kalo ada rejeki akan Abah ganti" 
"O iya, saya kan punya celengan ya bah!" Kata Adi dengan mata berbinar. Abah mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati ia bersyukur mempunyai anak sebaik Adi. 
Sore itu Adi pulang dengan perasaan gembira. Setibanya di rumah dia langsung menyantap tumis jantung pisang kesukaannya. "Hmm..masakan emak emang juara!" gumamnya sambil menikmati suapan terakhir dari piringnya yang nampak bersih. Emak memandangnya dengan bahagia. Senang rasanya jika anaknya makan selahap ini. Kemudian dengan di bantu emak, Adi memecahkan celengan ayam yang dibelikan abah sekitar dua bulan yang lalu. Yang selalu rutin ia isi dari uang sisa jajan yang diberikan emak.
"Waah, celengan kamu dapat 200 ribu Cep. Untuk bayaran 150 ribu, sisanya 50 ribu lagi bisa buat bekal kamu nanti", kata emak setelah selesai menghitung uang hasil celengan Adi. Adi berlonjak-lonjak gembira. Indahnya hamparan kebun teh yang menghijau terbayang di pelupuk mata.Malam itu Adi tidur dengan tersenyum, tak sabar menunggu pagi untuk segera memberikan uang 150 ribu kepada bu Saleha. 
Tok..tok..tok, "Assalamuakum!"  Ketukan dan salam yang berulang-berulang membangunkan seluruh penghuni rumah kecuali Adi yang tetap tertidur dengan lelapnya. 
"Waalaikumsalam" emak segera bangkit dan berjalan terhuyung menuju pintu depan
"Nanang, ada apa malam-malam begini?" tanya emak
"Kang Kosim ada ceu?". Wajah laki-laki berusia 30an itu nampak diliputi kecemasan. 
"Ada, sebentar ya.." kata emak setelah mempersilahkan tamunya masuk lalu pergi ke kamar untuk memanggil Abah. Tak berapa lama kemudian.. 
"Kang Kosim, tolong saya kang. Istri saya mau melahirkan. Sekarang sedang ada di klinik. Saya butuh uang. Kalo akang ada simpanan, saya pinjam dulu. 200 ribu saja kang", ujar laki-laki muda itu memelas. Abah menatap emak dengan pandangan bingung, sementara emak mengernyitkan dahinya. Kebimbangan tergambar di wajahnya. 
"Tolonglah kang, Akang adalah kakakku satu-satunya. Pada siapa lagi saya minta tolong kalo bukan sama akang.." ujarnya lagi. 
"Sebentar.." Abah menarik emak ke dalam kamar. 
"Gimana mak?" tanya Abah dengan berbisik khawatir suaranya akan membangunkan Adi. 
"Ya gimana atuh Abah, kita ada uang tapi kan itu uang Adi." kata emak 
"Kita pinjamkan aja dulu, kasian si Nanang. Ini masalah hidup dan mati seseorang mak", bisik abah lagi. 
"Tapi kan ini harus di bayar kan besok", bantah emak. 
"Masih ada waktu sekitar 3 hari lagi mak, besok aku dapat kerjaan di rumahnya pak Ridwan untuk membetulkan atap rumahnya. Upahnya pasti akan lebih dari cukup untuk biaya study tour Adi", Abah berusaha meyakinkan. 
Saya mohon mak, ijinkan saya menolong adik saya. Inshaa Allah jika  Allah mengijinkan, besok atau lusa pasti ada rejekinya", kata Abah lagi. 
Dan akhirnya emak menyerah dan mengijinkan Abah untuk meminjamkan uang itu pada adiknya. Sambil berpikir keras bagaimana cara menjelaskannya pada Adi esok pagi. 
Pagi yang cerah secerah wajah Adi yang bersemangat untuk ke sekolah. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu bu Saleha. 
"Abah kemana mak, koq dari semenjak saya bangun gak keliatan?" tanya Adi heran karena biasanya mereka selalu sarapan bareng sebelum berangkat. 
"Abah dijemput mang Nanang tadi malam. Bi Ningsih ada d klinik," jelas emak. 
"Mang Nanang kesini?" Koq saya gak di bangunin sih mak? Pasti Bi Ningsih mau melahirkan ya? Asyik, saya bakal punya adik!" seru Adi membuat emak menarik napas dalam-dalam. 
"Cep, emak minta maaf ya.."ujar emak kemudian. 
"Maaf kenapa mak?" Adi bingung melihat sikap emak yang begitu murung di saat seharusnya berbahagia karena akan ada anggota Keluarga yang baru. 
"Uang kamu dipinjam sama Mang Nanang untuk biaya persalinan Bi Ningsih." lirih emak. 
Kata-kata emak membuat Adi tersentak, bayangan indahnya hamparan kebun teh buyar seketika. 
"Tapi kamu jangan khawatir Cep, masih ada waktu tiga hari lagi. Dan hari ini Abah ada pekerjaan di rumah pak Ridwan. Inshaa Allah upahnya lebih dari cukup untuk membayar study tour di sekolah kamu", kata Abah yang tiba-tiba muncul di pintu. 
Adi langsung memeluk Abah, "Bener ya bah, tiga hari lagi di bayar lunas ya.." rajuk Adi. 
Iya, Inshaa Allah. Makanya kamu jangan pernah putus mendo'akan Abah setiap habis shalat, biar kita dapat rejeki banyak", kata Abah yang kemudian di amini oleh Adi dan emak. Dan pada hari itu Adi berangkat ke sekolah dengan hati senang. Gambaran hamparan kebun teh yang tadi buyar kini terlihat lebih jelas. 
Tiga hari kemudian... 
"Assalamualaikum mak, cep mana?" tanya Abah suatu sore. Binar bahagia tergambar di matanya yang kuyu karena lelah. 
"Waalaikumsalam, sudah pulang  bah?" Ada apa, koq keliatan senang sekali?"tanya emak 
"Iya, Abah senang sekali! Cep.. sini cep!"Abah memanggil Adi untuk duduk di sebelahnya. 
"Hari ini Abah gajian. Kalian tahu berapa upah yang abah terima?" tanya Abah di jawab dengan gelengan kepala oleh Adi dan emak. 
"500 ribu, cep..! Abah di bayar 500 ribu..!" seru Abah. 
"Alhamdulilah.." kata emak dan Adi berbarengan rona bahagia tergambar di wajah mereka. 
"Berarti uang tournya bisa dilunasi besok ya bah!" seru Adi
"Tentu bisa atuh, malah lebihnya juga banyak untuk bekal di jalan", kata Abah sambil mengusap kepala anaknya. 
"Terus uangnya mana bah?" tanya emak
"O iya, sebentar ya.." Abah memasukan tangannya ke saku celana sebelah kiri. 
"Eh koq gak ada.." kata Abah kemudian meraba saku celana yang sebelah kanan. 
"Abah, jangan becanda ah, gak lucu tau!" seru emak yang mulai terlihat cemas. 
"Enggak mak, tadi Abah masukin di saku celana." Abah meraba-raba saku celananya yang kosong. Dan seketika tangis Adi pun meledak. Musnah sudah harapannya untuk bisa ikut tour. Gambaran hamparan kebun teh mulai pudar dan akhirnya hilang sama sekali. 
"Maafkan Abah ya nak," kata Abah dengan mata berlinang. "Abah akan usahakan supaya kamu bisa ikut hari minggu  nanti. Masih ada kesempatan untuk kamu membayar pas mau berangkat nanti". 
"Tapi waktu pembayaran terakhir tinggal besok Abah. Kalo begini caranya, tidak mungkin saya bisa ikut", kata Adi di sela sedu sedannya. 
"Iya Cep, kamu harus sabar dan tawakal. Ingat, Allah itu Maha Kaya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Jika Dia mengijinkan, Inshaa Allah kamu pasti berangkat!" emak berusaha membesarkan hati Adi. Kata-kata emak  membuat hati Adi menjadi sedikit lebih tenang.
Hari pun berlalu tanpa terasa.  Kini  Adi sudah tak murung lagi. Dia sudah pasrah dan bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Dia tahu Abah sudah berusaha keras namun belum berhasil. Dia tidak ingin membebani abah dan membuat abah menjadi sedih. Biarlah dia tidak ikut ke Puncak yang penting Abah tidak sedih lagi. Dan ada yang berbeda pada hari Minggu kali ini. MI Darul Huda yang biasanya sepi pada hari Minggu, kini ramai oleh para orang tua yang mengantar anaknya. Sementara bu Saleha nampak sibuk mengabsen siswa-siswi yang berbaris di depan bis masing-masing. Dan Adi hanya bisa menyaksikan segala kesibukan yang terjadi dari balik pagar dekat gerbang samping. Adi tetap berdiri di sana sampai akhirnya bis 1 diberangkatkan kemudian disusul oleh bis 2. Setelah itu suasana sekolah menjadi sepi. 
"Harusnya saat ini aku berada di bis 2", gumamnya dalam hati. Adi pun menarik napas dalam-dalam dan menepis pikiran itu lalu melangkah dengan gontai. Baru beberapa meter ia melangkah, tiba-tiba..tin..tiin..bunyi klakson mengagetkan Adi. Sebuah mobil Pajero berwarna hitam berhenti di depannya. Seraut wajah yang sangat dia kenal muncul dari balik jendela mobil tersebut yang perlahan terbuka. 
"Cep, bisnya udah berangkat ya?" tanya Farel sementara Adi menjawabnya dengan anggukan. 
"Yaah, kita ketinggalan dong, Ayah sih tadi pake acara sarapan segala, jadi telat kan.." gerutu Farel pada ayahnya yang duduk di belakang kemudi. 
"Iya, maaf deh. Kita susul saja bisnya, ajak temanmu sekalian.." usul ayah Farel di sambut gembira oleh anaknya. 
"Ayo cep, naik.."kata Farel sambil membukakan pintu mobil untuk Adi yang masih terbengong-bengong. 
"Ayoo lah.. "kata Farel menarik tangan Adi. Lalu merekapun berangkat menuju Puncak. Dan indahnya hamparan kebun teh yang menghijau kini tampak nyata di depan matanya. Seketika Adi teringat kata-kata Abahnya. Tak terasa air mata mengalir di pipinya. 
"Kamu nangis Cep?" tanya Farel ketika mereka tengah menunggu pesanan jagung bakarnya matang. 
"Aah nggak, asap jagung bakarnya perih kena mata!" Adi mengelak sambil mengusap air matanya dan tersenyum. 
Setelah hampir setengah hari mereka bercengkerama, akhirnya mereka pulang saat hari menjelang sore. Farel dan ayahnya mengantarkan Adi sampai rumahnya. 
" Abaah..!"teriak Adi segera turun dari mobil dan berhambur ke pelukan Abah. 
"Dari mana saja kamu Cep, bilangnya pergi cuma sebentar, tp koq gini hari baru pulang. Bikin abah sama Emak khawatir saja". 
"Mohon maaf pak, saya yang mengajak anak bapak ke puncak untuk menemani anak saya, Farel" Jelas Ayah Farel yang kini sudah berada di belakang Adi. 
"Pak Ridwan?" Abah terhenyak begitu mengenali siapa yang mengantar anaknya. 
"Mohon maaf, saya sudah membawa anak bapak tanpa ijin terlebih dahulu", ujar pak Ridwan
"Ooh tidak apa-apa pak, saya malah sangat berterima kasih. Akhirnya anak saya bisa ikut juga ke Puncak." Kata Abah dengan wajah berseri. Setelah ngobrol sebentar, akhirnya Farel dan ayahnya pamit pulang diiringi lambaian tangan dari Adi dan Abahnya. 
"Alhamdulillah, akhirnya kamu berangkat juga ke puncak!" seru emak. 
"Ya, inilah bukti bahwa Allah maha kaya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Yakinlah bahwa setiap kebaikan dan kesabaran yang telah kita tanam akan berbuah manis".
"Iya Abah.." Adi mempererat pelukannya. Tak lama berselang, terdengar suara Adzan berkumandang. Abah dan emak tersenyum lalu... 
"Sudah Maghrib! Mari  masuk, kita shalat berjamaah..!"
                                              =SELESAI=