TEMAN BARU

Karya : Lili Rahmah

Kriiiiingggg…  suara keras dari benda kotak berbentuk kepala ‘Hello Kitty’ membangunkanku  dari lelap tidurku.Ya, benda itu tak penah alpa berbunyi setiap  pukul 05.00 pagi. Akupun  bangkit dan segera bergegas menuju kamar mandi. 
Hari ini adalah hari pertama liburan kenaikan kelas. Aku dan keluargaku berencana untuk berlibur ke rumah nenek yang berada di Kalimantan. Aku sangat bersemangat hari ini karena  sudah lama sekali kami tidak mengunjungi nenek. Terakhir kami kesana  saat libur panjang ketika aku naik ke kelas VI.
“Ayo Put, nanti kita ketinggalan pesawat!” teriak ibu. Sementara ayah nampak sibuk memasukkan barang-barang ke bagasi  mobil. “Iya bu sebentar, aku mau mengucapkan salam perpisahan kepada Meong dulu!” Teriakku dari dalam rumah. Meong adalah kucing kesayanganku, dia terlihat sedih saat aku  akan meninggalkannya.
Pesawat sudah menunggu Ketika kami tiba di bandara. Dengan langkah terburu-buru kami menaiki anak tangga menuju ruang penumpang yang di sisi pintunya berdiri dua orang pramugari cantik dengan senyumnya yang ramah menyambut kedatangan kami. Setelah kurang lebih selama dua jam aku dan keluargaku berada di pesawat, akhirnya kami pun sampai di bandara Pontianak. Aku langsung memeluk dan mencium tangan nenekku yang sudah menunggu kami di bandara.
Perjalanan pun kami lanjutkan  dengan naik mobil melewati jalan menanjak dan berkelok yang di sisi kanan kirinya nampak pemandangan yang masih asli. Kampung nenekku memang terbilang masih di pedalaman, jauh dari kebisingan  kota. Ketika melewati hutan lebat tiba-tiba…tuussssss….terdengar desisan yang sangat kuat seiring laju mobil melambat dan berhenti.   
“Kenapa pak?”tanya nenek pada sopir yang duduk di sebelahnya.
“Sepertinya kempes ban, coba saya cek dulu ya..”jawab sang sopir lalu keluar dari mobil untuk mengecek ban belakang.
“Gimana pak?” tanya ayah yang ikut-ikutan  turun dari mobil dan mengecek kondisi ban belakang.
“Sepertinya harus diganti ni pak, bannya robek tertusuk ini”, pak sopir menunjukan sebatang ranting yang ujungnya runcing seperti pensil yang baru diraut. 
Sementara ayah membantu pak sopir mengganti ban, aku, nenek, dan ibu  keluar dari mobil. Aku memandang sekeliling, dan dari kejauhan samar terdengar gemericik air diantara kicauan burung. Aku berjalan menuju sumber suara. Nampak sebuah sungai mengalir diantara pohon-pohon rindang dan rimbunnya semak belukar.
“Hati-hati, jangan masuk ke dalam hutan!”  Ketika teriakan nenek samar terdengar, pandanganku tertuju pada empat orang anak yang sedang berenang. Mereka melambaikan tangan mengajakku bergabung menikmati jernihnya air sungai.
“Hai, aku  Ode,”salah satu dari mereka menghampiriku dan mempekenalkan diri. “Itu teman-temanku, Ratih, Siti, dan yang gendut itu namanya Dodo,” tambahnya mempekenalkan teman-temannya.
“Hai, aku Putri,” ujarku  melambaikan tangan. Tiba-tiba..byuuuurrrrrrr… Ode melompat ke sungai, menyebabkan cipratan airnya mengenai wajahku. Terasa segar sekali, sementara tiga orang temannya tertawa-tawa.  Aku menyeka wajahku dan tersenyum lalu mulai bergabung dengan mereka walaupun hanya  nongkrong  di pinggir.
“Woy.. lapar ni..kita ke hutan yuuk, cari makanan,” ajak Dodo.
“O alaa Do, kamu ini lapar mulu..”, ledek Ode.
“Ayolah  teman-teman, aku sangat lapar sekali.” rengek Dodo.
“Ikut yuu..di hutan banyak buah-buahan yang enak-enak lho..” ajak Ratih. Aku menggeleng ragu ketika Ratih menggandeng tanganku. 
“Tidak apa-apa Putri, gak usah khawatir. Kita tidak mungkin tersesat, kita sudah biasa main di sini,” ucap Siti meyakinkanku. 
“Kita duluan ya....nanti kita ketemu di air terjun!” teriak Dodo yang kemudian menghilang di balik rapatnya pepohonan disusul oleh Ode.
“Air terjun?” tanyaku penasaran. 
“Iya, di tengah hutan, di ujung sungai ini ada air terjun yang indah sekali. Airnya pun jauh lebih jernih dibanding  air yang ada di sungai ini.” Ucapan Ratih membuatku semakin penasaran. Sebagai anak yang tumbuh di kota besar, aku memang belum pernah melihat air terjun secara langsung. Bayangan indahnya air terjun di hulu sungai mampu mengusir pesan nenek dari benakku dan melangkah menyusuri sungai mengikuti teman-teman baruku.
Kami  berjalan  menyusuri sungai melewati bebatuan. Aku berusaha mengimbangi langkah Siti dan Ratih yang dengan lincah melompat dari satu batu ke batu yang lain. Sementara aku dengan susah payah berusaha melebarkan langkah  menuju batu yang ada di depanku. Sesekali kakiku terpeleset karena batunya licin oleh lumut. Seketika suasana menjadi hening, aku sudah tidak dapat melihat teman-teman baruku itu di depanku lagi. Yah, rupanya aku sudah tertinggal. Rasa bingung dan takut menguasai hatiku. Aku berteriak-teriak memanggil-manggil nama teman-teman baruku,. tapi tidak ada  satupun yang menyahut.
Hari sudah hampir  gelap. Aku terduduk diatas batu besar bawah pohon di tepi sungai yang berada di tengah hutan. Rasa bingung, cemas, khawatir bercampur menjadi satu, membuat perutku yang lapar terasa semakin melilit.. Aku meringis memegangi perutku. Dalam kekalutan, aku terhenyak  ketika sesuatu menyentuh kakiku, lalu naik dan lama- kelamaan kakiku seperti terlilit dan…… “Haaa… ulaar..! tolooong..ada ulaar..!” teriakanku memecah kesunyian senja di hutan kala itu. Suara monyet yang saling bersahutan serta suara hewan -hewan liar lainnya membuat suasana semakin mencekam. Ular itu menyeret tubuhku menuju lubang besar ditepi sungai. Aku berjuang sebisa mungkin meraih apa yang ada untuk mempertahankan diri. Sesampainya di mulut lubang besar itu, tanganku berhasil meraih dahan pohon besar yang tumbuh di tepi sungai. Tarik menarik pun terjadi dan Kraaaak…!! Dahan berderak dan patah. Aku terkesiap, tubuhku terasa melayang. Selintas kulihat sebuah tangan menyambar tanganku, dan aksi tarik menarikpun kembali terjadi. Aku merasakan tubuhku terombang-ambing dan mulai hilang kesadaran.
Ketika aku membuka mata, dihadapanku  nampak seorang bocah laki-laki bertelanjang dada dengan celana kotor penuh lumpur. Tangannya menyodorkan serangkai buah rambutan. Aku menerima buah itu sambil berusaha mengumpulkan ingatanku kembali.
“Kamu siapa?” tanyaku.  Dia tersenyum dingin dan melambaikan tangan seperti menyuruhku mengikutinya. Tak ada pilihan lain, akupun bangkit  dan segera mengikuti langkahnya. Aku melangkah dengan setengah berlari. Rasa takut tertinggal sendirian lagi membuat rasa lelahku menguap bersama hembusan angin.
Kamu dari mana saja? Kamu tidak apa-apa?” tanya ayah ketika menemukanku  berjalan terpincang-pincang di tepi hutan larangan tak jauh dari kampung tempat tinggal nenek. 
“Maafin Putri ayah, Putri sudah melanggar perintah nenek. Putri tadi tersesat di hutan. Beruntung ada teman baru Putri yang menolong dan membantu menunjukan jalan keluar dari hutan.” Jelasku tersenyum lega.
“Teman baru? Mana dia?” tanya ayah lagi.
“Tadi dia di belakang Putri,” aku celingukan mencari, namun bocah laki-laki penolongku itu tidak nampak bahkan batang hidungnya sekalipun. Aku tertegun menatap rambutan pemberiannya yang masih digenggaman.
Sebuah tepukan membuyarkan lamunanku, “Ayoo naik, kita lanjutkan perjalanan!” ujar ayah merangkul pundakku.
“Beres…, Alhamdulilah..!” seru pak sopir sambil meletakan ban yang pecah tadi ditempat ban serep, lalu  naik dan duduk di sebelah nenek. Dan mobil pun bergerak meninggalkan tepi hutan dengan segala kenangannya. Kenangan bersama teman-temanku yang kini entah berada di mana. Setelah lima tahun berlalu, kini aku kembali dan berharap bisa berjumpa lagi dengan bocah yang telah menyelamatkanku waktu itu, untuk sebuah  kata terima kasih yang belum sempat terucap.

=SELESAI=